Selamat datang di situs resmi MWC NU Gempol, ini adalah Situs resmi sebagai sarana informasi seputar MWCNU Gempol

NU dan Kompetensi Membantah Labelisasi Mistis dan ketertinggalan Zaman


Baru -baru ini, dengan asumsi bahwa Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang sudah ketinggalan zaman. Faktanya, NU sering dikaitkan dengan praktik mistis yang tidak dianggap relevan saat ini. 

Berdasarkan Itu, dibentuk dari foto -foto yang dibuat oleh sejumlah kecil orang yang mengaku sebagai bagian dari NU tetapi tidak bertindak seolah -olah mereka tidak mencerminkan nilai -nilai ilmiah dan pemikiran yang sebenarnya terobsesi dengan organisasi. 

Di kalangan Nahdliyin Selaku mayarakat awam  pun sempat mempertanyakan: 

Apakah benar bahwa NU itu serba mistis, kuno, dan ketinggalan zaman?

Namun dengan berjalnnya waktu, pelan pelan menjadi jelas bahwa tuduhan itu salah.

NU berdiri atas dasar potensi zaman

Organisasi NU juga muncul dari sebuah cerita tentang betapa pentingnya memiliki kemampuan, juga dikenal sebagai otoritas ilmiah yang jelas. Kita dapat melihatnya dari kisah Wali songo. Secara umum, kami mendengar kisah -kisah proses perjalanan Wali songo. Hampir semua cerita wali songo yang ada adalah bentuk manifestasi kemampuan. Seperti Mbah Raden Rahmat (Sunan Ampel), seorang sarjana terkemuka yang melahirkan santri atau pengikut berbakat di berbagai bidang, dari Sunan Giri, yang dipercaya dalam dunia pendidikan dan politik, hingga Demak, kerajaan Islam pertama Jawa ke Raden Patah, yang membangun kesultanan. Dia juga mengatakan, seperti Sunan Kalijogo Sunan, seorang komunitas yang paham budaya di Demak. Beliau adalah simbol dari anti-kekakuan anti kejumutan, yang mana menghasilkan dakwah yang selalu relevan dengan zaman. 

Disamping itu juga mari kita toleh kembali akar pendirian NU. Organisasi ini lahir bukan dari ruang kosong. NU didirikan oleh para ulama besar yang memiliki otoritas keilmuan tinggi, sebut saja semisal KH Hasyim Asy’ari ulama Nusantara yang hafal ribuan hadits dengan demikian kita bisa melihat dalam konteks para pendirinya narasi sejarah yang mengikutinya, NU sejatinya adalah organisasi berbasis kompetensi—bahkan sejak awal pendiriannya. 

Akhir-akhir ini, cukup sering terdengar anggapan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang ketinggalan zaman. Bahkan tak jarang, NU diasosiasikan dengan praktik-praktik mistis yang dianggap tidak lagi relevan dengan zaman sekarang.

Anggapan seperti itu tentu tidak lahir begitu saja. Ia terbentuk dari citra yang dibangun oleh segelintir individu yang mengaku sebagai bagian dari NU, namun bertingkah laku tidak mencerminkan nilai-nilai keilmuan dan pemikiran yang sesungguhnya dimiliki oleh organisasi ini. Sayangnya, masyarakat seringkali menilai suatu organisasi bukan dari prinsip dasarnya, melainkan dari perilaku sebagian oknumnya.

Sebagai orang awam yang tumbuh di lingkungan Nahdliyin, aku pun sempat mempertanyakan: Apakah benar NU itu serba mistis, kuno, dan ketinggalan zaman?

Namun seiring waktu dan sedikit demi sedikit pemahaman, aku melihat bahwa tuduhan tersebut keliru—atau setidaknya, terlalu disederhanakan.

NU didirikan atas dasar kompetensi

Organisasi NU terlahir dari Narasi betapa pentingnya punya kompetensi alias otoritas keilmuan yang jelas hal ini kita bisa lihat dari cerita-cerita walisongo yang kemudian dijadikan role of model dalam dakwah NU.

Umum kita dengar cerita-cerita membanggakan dari dakwah para walisongo yang kemudian menjadi panutan dan kebanggaan masyarakat nahdliyin. Bahwa hampir semua cerita walisongo yang ada adalah bentuk dari pengejawantahan dari kompetensi. katakanlah semisal Sunan Ampel, Ulama yang terkenal melahirkan murid yang berkompeten di berbagai bidang mulai dari Sunan Giri yang andal dalam dunia pendidikan dan politik, hingga Raden Patah yang kelak mendirikan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebut juga semisal sunan Kalijogo sunan yang akrab dengan dakwahnya membaur dengan kebudayaan masyarakat. Beliau adalah simbol dari anti-kekakuan anti kejumutan, yang mana menghasilkan dakwah yang selalu relevan dengan zaman.

Disamping itu juga mari kita tengok kembali akar pendirian NU. Organisasi ini lahir bukan dari ruang kosong. NU didirikan oleh para ulama besar yang memiliki otoritas keilmuan tinggi, sebut saja semisal KH Hasyim Asy’ari ulama Nusantara yang hafal ribuan hadits dengan demikian kita bisa melihat dalam konteks para pendirinya narasi sejarah yang mengikutinya, NU sejatinya adalah organisasi berbasis kompetensi—bahkan sejak awal pendiriannya.

Maka salah jika NU disebut sebagai organisasi yang serba mistis, kuno, dan ketinggalan zaman. Sebab secara prinsip  NU menganut : Yang di pegang kuat adal salah satunya konsep المحافظة على القديم الصالح ألاخذ باالجديد الاصلح " memelihara yang lama yang lebih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik ". 

Bahkan Ushul fiqh ilmu metodologi hukum Islam masih diajarkan dengan serius bahkan di pesantren tradisional, yang sering disebut sebagai "kolot". Ini bukan kelas biasa karena diberikan peraturan ketat tentang bagaimana seseorang dapat sampai pada kesimpulan hukum (istinbath), siapa yang berhak atas pendapat, dan kapan pendapat tersebut dapat diterima. Artinya, para guru dididik untuk menghargai kemampuan ilmiah sejak kecil. Tidak asal-usul, tidak ikut-ikutan. Ada sistem berpikir, logika hukum, dan persyaratan untuk menjadi mujtahid, semua yang membutuhkan pengetahuan mendalam. 

Pekerjaan Rumah yang Harus Diselesaikan: Tentu saja, NU tidak punya pekerjaan rumah; ada banyak tantangan internal yang harus diselesaikan. Namun, menilai NU hanya dari sudut pandang luar atau sebagian oknum tanpa memahami basis keilmuannya, landasan historis, dan sosiologinya tentu tidak bijaksana. 

Dengan organisasi besar, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki banyak tanggung jawab kultural dan keislaman. NU tidak dapat hanya bergantung pada primordialisme dan ketokohan sejarah. Melakukan regenerasi intelektual dan regenerasi usia merupakan langkah maju menuju primordialisme sejarah dan ketokohan. karena terlalu banyak potensi santri dan kader muda Universitas Nahdlatul Ulama yang tidak dimanfaatkan. Secara struktural dan kultural, NU harus memfasilitasi ruang produksi wacana dan kepemimpinan yang progresif jika mereka ingin tetap relevan.

Di sisi lain, tugas dan amanah yang tidak kalah penting soal transformasi wacana. di era gus dur wacana soal pluralisme agama mencuat, menjadikan NU sebagai organisasi yang progresif dan inklusif. Sekarang kemana wacana-wacana baru seperti itu?.................

Penting bagi NU untuk berani mengubah diri mereka sendiri. Mereka tidak hanya harus mengulang dakwah lama dengan cara yang berbeda, tetapi juga harus membangun argumen Islam progresif yang berbasis pada ushul fiqh dan maqashid syariah. Keadilan sosial, kesetaraan gender, hak minoritas, dan masalah lingkungan harus dipikirkan kembali menggunakan kerangka fikih yang sesuai dengan zaman. Dan inilah perwujudan dari konsep  لمحافظة على القديم الصالح ألاخذ باالجديد الاصلح " memelihara yang lama yang lebih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik ". 

Sebagai akhir dari coretan diatas, Generasi muda hari kita bentuk, kita bangun, kita dekati dengan melakukan berbagai pendekatan obyektif dan sebagai tokoh dan pimpinan Nahdlatul Ulama di semua tingkatan terutama ditingkat bawah yang kerap bersentuhan dengan kultural / masyarakat maka harus berani beralih dari podium ke dunia nyata. Selain ceramah, umat membutuhkan kepedulian. Hari ini, Nahdlatul Ulama menggunakan banyak pekerjaan dan kegiatan untuk mendukung mereka yang termaiginalkan secara ekonomi, tanah, dan akses sosial.  Basis pesantren harus berfungsi sebagai benteng moral dan pusat perlawanan kultural terhadap ketimpangan. Nahdlatul Ulama tidak boleh diam ketika buruh ditindas, petani kehilangan tanah, dan warga tergusur untuk investasi. Di sinilah NU harus hadir sebagai harapan dan bukan hanya sebagai warisan. Jika tidak, NAHDLATUL ULAMA  hanya akan diingat dan di kenang sebagai organisasi besar yang tidak mau berkembang dan lebih suka dipuji daripada mengubah pola pikir dan minside kultural, padahal itulah tugas penting yang harus terbangun dan terkoneksi antar tingkatan di semua kepengurusan anggap saja molai MWC hingga anak Ranting, maka besar kemungkinan harapan harapan besat yang sudah tertulis di QONUN ASASI Nahdlatul Ulama akan terealisasi seiring dengan berjalannya waktu dan harokah Annahdliyah alaa Ahlusunnah wal Jama'ah.  

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama